NPM: 16630128
tugas : Pengendalian Banjir dan Kekeringan
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan
negara beriklim tropika humida (humid tropic) yang pada musim hujan
mempunyai curah hujan tinggi. Akibatnya di beberapa tempat terjadi banjir yang
banyak menimbulkan kerugian baik nyawa maupun harta benda. Kerugian ini akan
semakin besar kalau terjadi di kota-kota besar yang padat penduduknya. Untuk
mengurangi kerugian tersebut telah banyak usaha penanggulangan banjir yang
dilakukan seperti pembuatan tanggul banjir, tampungan banjir sementara,
pompanisasai air banjir, sudetan sungai, dll.
Usaha pengendalian
banjir tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan, karena kejadian
banjir terus meningkat dari waktu ke waktu. Fenomena ini sudah kita
sadari, karena proses kejadian banjir memang sangat komplek, baik itu proses di
lahan maupun di jaringan sungainya. Oleh karena itu penanggulangan banjir
tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan DAS, dan sumberdaya air secara
keseluruhan.
Di sisi lain banjir
merupakan salah satu sumberdaya alam yang cukup besar potensinya. Apabila air
banjir pada musim hujan dapat ditampung dan disimpan, sehingga dapat menurunkan
debit banjir, maka pada saat kekeringan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan
hidup manusia dan keperluan lain seperti irigasi, pembangkit tenaga listrik,
perikanan dan pariwisata. Dengan demikian, usaha pengendalian banjir yang
dilakukan sekaligus dapat mengurangi kerugian akibat kekeringan.
Uraian di atas
menunjukkan bahwa peristiwa banjir dan kekeringan sangat merugikan kehidupan
manusia. Penanggulangan kedua bencana tersebut terus diupayakan dengan berbagai
cara, namun nampaknya masih dilakukan secara terpisah. Pengendalian banjir dan
pananganan kekeringan secara terpadu nampaknya akan memberikan hasil lebih
baik.
B.
Pembahasan
1. Banjir
-
Banjir adalah peristiwa
keberadaan air mengalir melampaui kapasitas perangkat pengaliran yang
disediakan/tersedia dan mengalir di luar kemampuan perangkat itu. Dalam konteks
ini air menimbulkan gangguan akibat pengalirannya atau genangannya pada tempat-tempat
yang tidak disediakan untuknya. Di Indonesia ada beberapa factor penting
penyebab terjadinya banjir :
a. Faktor Hujan
Intensitas hujan sangat
berpengaruh pada besarnya debit puncak banjir. Semakin tinggi intensitas hujan
maka semakin tinggi pula debit banjirnya. Hal ini dapat difahami,
terutama jika telah banyak melakukan analisis banjir dengan model-model yang
tersedia. Perlu mendapat perhatian pada penggunaan rumus Rasional, yaitu pada
kondisi durasi hujan yang lebih pendek dari waktu konsentrasinya. Pada kondisi
tersebut nilai debit puncak ditentukan oleh sebagian luas DAS, karena hujan
diseluruh DAS belum teratus.
Kejadian hujan dalam
beberapa hari berturut-turut, justru dapat menimbulkan banjir, walaupun
intensitas hujannya tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah
yang telah dibasahi hujan sebelumnya menurunkan kemampuan menginfiltrasi air.
Pada kondisi tanah dengan kelengasan tinggi atau jenuh air, infiltrasi memang
masih berjalan, namun nilainya cukup kecil, sehingga hampir seluruh hujan
menjadi aliran dan dapat menimbulkan banjir.
Hujan deras yang terjadi
pada suatu hari dimana hari-hari sebelumnya tidak hujan sering tidak
menimbulkan bnajir. Pengaruh kelengasan tanah awal pada debit banjir sudah
difahami, namun belum dirumuskan dengan baik. Oleh karena itu menarik untuk
dikaji pengaruh kelengasan tanah awal pada kejadian banjir.
b. Faktor DAS
Daerah Aliran Sungai
adalah daerah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang
bersangkutan. Perubahan fisik yng terjadi di DAS akan berpengaruh langsung
terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Semakin banyak lahan terbuka,
atau terbangun semakin kecil kemampuan retensinya.
Kejadian banjir di
Sorong tanggal 18 Juli 2003 (www.kompas.com.) adalah akibat penggundulan hutan
di sekitarnya. Kerugian banjir diperkirakan sebesar 2,8 milyar rupiah. Bandung
selatan mengalami banjir pada 27 Mei 2004 (w.w.antara.co.id.), sehingga jalur
jalan Majalaya – Bandung terputus. Genangan air mencapai 50 cm – 80 cm. Banjir
ini diestimasikan akibat pemotongan bukit-bukit di sekitar Bandung selatan
untuk permukiman dan kawasan industri.
Berubahnya kawasan
retensi banjir untuk Jakarta menjadi permukiman, daerah terbuka (jika ada
tanaman, hanya perdu), industri dll., mengakibatkan banjir yang terjadi
meningkat. Pada th 2003, kejadian banjir diperparah dengan adanya peningkatan
elevasi muka air laut. Hal tersebut diperparah dengan pola penyebaran
permukiman yang menyebar, sehingga daya rusak terhadap ekologis dan
lingkungannya lebih tinggi.
c. Faktor Alur
Sungai
Upaya pengendalian
banjir yang selama ini dilakukan berupa kegiatan fisik/struktur yang berada di
sungai (in stream) dengan tujuan untuk melindungi dataran banjir yang
telah berkembang. Pengendalian banjir tersebut dengan membangun prasarana dan
sarana seperti pembuatan tanggul, normalisasi alur sungai, sudetan, saluran
drinasi, tampungan air (waduk), polder, dll.
Pada umumnya, prasarana
dan sarana pengendali banjir direncanakan untuk 10 sampai 100 th, sedang sistem
drainasi 2 sampai 10 tahun. Data yang digunakan dapat berupa data hujan maupun
aliran yang terekam pada kondisi DAS saat itu. Apabila kondisi DAS di Indonesia
dapat digolongkan stabil, prediksi debit dengan kala ulang tersebut tentu saja
tidak akan menjadi masalah. Namun kenyataannya, Daerah Aliran Sungai yang ada
memiliki tataguna lahan yang tidak stabil, bahkan cenderung mengalami
kerusakan. Tingkat kerusakan DAS bervariasi mulai dari kecil, sedang sampai
besar/kritis yaitu pada tingkat yang sudah mengkhawatirkan.
Oleh karena itu,
prediksi nilai debit dengan kala ulang tertentu yang diperoleh pada saat
perencanaan sudah tidak relevan lagi pada saat ini. Hal ini terjadi jika Daerah
Aliran Sungainya mempunyai luas area terbuka yang meningkat. Peningkatan debit
banjir mengakibatkan prasarana dan sarana yang ada tidak mampu menampung aliran
yang terjadi.
Aspek pendangkalan yang
terjadi di alur sungai juga merupakan salah satu sebab terjadinya banjir.
Adanya pendangkalan alur sungai, tampang sungai menjadi berkurang sehingga daya
tampung alirannya menurun pula. Proses pendangkalan ini dapat terjadi akibat
erosi tebing dan dasar sungai maupun akibat erosi lahan di Daerah Aliran
Sungai.
Persoalan banjir menjadi
semakin rumit jika di alur sungai terdapat rintangan-rintangan arus baik oleh
alam maupun buatan manusia seperti :
Penampang pengaliran
sempit karena formasi geologi yang keras
Adanya ambang alam yang
keras
Belokan tajam pada
sungai akan menimbulkan arus menyilang yang berbahaya
Bangunan silang sengan
sungai dengan rongga terlalu sempit
Pertemuan antara dua
sungai atau lebih dengan arus saling merintangi
Faktor-faktor di atas
perlu mendapatkan perhatian cukup serius dalam penanganan masalah banjir,
sehingga dapat memberikan hasil yang baik.
2. Kekeringan
Kekeringan merupakan
salah satu bentuk kondisi ekstrim dan kejadian alam yang kejadiannya tidak
dapat dihindari serta karakteristiknya masih menyimpan ruang yang luas untuk
dipelajari dan dikaji lebih mendalam. Kekeringan seringkali ditanggapi dengan
pemahaman yang berbeda-beda.
Batasan atau kriteria
kekeringan sampai sekarang belum disepakati secara luas. Hal ini menunjukkan
bahwa kekeringan merupakan kejadian yang spesifik pada suatu wilayah. Namun
demikian, ada beberapa tipe kekeringan yang akan ditunjukkan untuk dapat
digunakan sebagai acuan.
a. Kekeringan
Meteorologis
Tipe kekeringan ini
paling mudah untuk diidentifikasi dan difahami. Suatu wilayah dapat dikatakan
mengalami kekeringan meteorologis apabila hujan tahunan rerata yang terjadi
tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasinya atau dapat juga
dibandingkan dengan temperaturnya. Tidak ada batasan mengenai berapa lama
hari/bulan tanpa hujan atau berapa banyak kekurangan air.
Kekeringan meteorologis
didasarkan pada kriteria kuantitatif berupa indeks kekeringan. Selanjutnya
indeks kekeringan dapat digunakan sebagai indikator dalam menetapkan
klasifikasi tingkat kekeringan suatu wilayah.
Indeks Kekeringan
Menurut De Martonne
dengan :
P = curah hujan tahunan rerata (mm),
T = temperatur tahunan rerata,
a = indeks kekeringan.
Menurut De Martonne,
suatu wilayah yang memiliki nilai a < 15 dikategorikan
sebagai wilayah kering. Metode ini dianggap masih mengandung kelemahan karena
mengabaikan pengaruh variasi musiman dan amplitudo harian dari temperatur di
wilayah kering.
Indeks Kekeringan
Menurut Thornthwaite (1948)
Metode ini mengukur
kekeringan suatu wilayah berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial (Eto),
didefinisikan sebagai jumlah penguapan dari suatu wilayah yang tertutup
tumbuhan dengan kecukupan air untuk terjadinya penguapan maksimum menurut
kondisi klimatologi. Evapotranspirasi potensial ini dihitung berdasarkan rumus
Thornthwaite sebagai fungsi emperatur rerata bulanan. Apabila jumlah
hujan tahunan rerata lebih kecil dari Eto tahunan,
maka wilayah tersebut merupakan daerah semi kering.
Indeks kekeringan
menurut UNESCO (1979)
Menurut UNESCO tingkat
kekeringan diukur berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial Eto yang
dihitung menurut rumus Penman. Nilai ini dibandingkan dengan tinggi curah hujan
tahunan rerata (P).
< 0,03
Wilayah Super Kering
0,03 <
<
0,20
wilayah kering
0,20 <
<
0,50
wilayah semi kering
b. Kekeringan
Hidrologi
Kekeringan tipe ini
merefleksikan kondisi sistem air dalam suatu wilayah baik untuk air permukaan
maupun air bawah permukaan. Kekeringan hidrologis dapat dilihat dari debit
aliran rendah (lowflow), tampungan air di danau/waduk, tampungan dalam
tanah dsb. Kondisi kekerinan hidrologi tidak selalu terjadi secara bersamaan
dengan kekeringan meteorologis. Kadangkala ada daerah yang mengalami kekeringan
meteorologi tetapi kalau dipandang dari sisi hidrologi sebenarnya tidak
mengalami kekeringan. Tetapi pada umumnya, apabila terjadi kekeringan hidrologi
maka secara meteorologi juga mengalami kekeringan.
c. Kekeringan
Pertanian
Kekeringan pertanian
merefleksikan kekurangan lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman untuk hidup
(evapotranspirasi). Respon tanaman terhadap kondisi lengas tanah sangat
bervariasi. Sebagian tanaman mampu bertahan hidup dan tumbuh dalam kondisi
lengas tanah yang rendah, tetapi ada juga tanaman yang membutuhkan lengas tanah
tinggi untuk bertahan hidup. Beberapa batasan kondisi lengas tanah untuk
tanaman yaitu kondisi jenuh, kapasitas lapang, titik layu awal dan titik layu
permanen. Kondisi lengas tanah ini berdampak langsung pada produktifitas
tanaman.
Nampak bahwa kekeringan
yang terjadi dapat merupakan interaksi berbagai tipe kekeringan yang menambah
kesulitan pengertian tentang kekeringan. Namun secara umum dapat dirangkum
bahwa kekeringan adalah peristiwa terjadinya kesenjangan antara ketersediaan
air dan kebutuhannya di masing-masing wilayah dan untuk tiap-tiap penggunaan.
Contoh daerah yang
mengalami kekeringan yaitu di Jawa Barat pada Juni 2003. Sawah seluas 24.802 ha
mengalami kekurangan air dengan status berat dan ringan, sedang 345 ha puso (www.pikiran_rakyat.com).
Kekeringan yang melanda
Pulau Jawa terutama disebabkan oleh berkurangnya luas hutan dan meningkatnya
penggunaan lahan non hutan. Kesimpulan ini dipeoleh Aris Poniman dari hasil
penyusunan neraca sumberdaya hutan dan lahan (www.swara.net). Peningkatan lahan
non hutan dapat mengakibatkan kekeringan karena keseimbangan ekosistem dalam
suatu DAS terganggu. Aris mengingatkan perlunya masyarakat lebih waspada akan
kemungkinan sering terjadinya banjir, tanah longsor dan tentu saja kekeringan.
3. Penanganan
Banjir dan Kekeringan Secara Terpadu
Banjir, sebagaimana
diketahui, adalah persoalan kelebihan air, sementara kekeringan adalah
persoalan kekurangan air. Fenomena bahwa banjir semakin meningkat dari waktu ke
waktu, sementara debit musim kemarau semakin menurun sudah difahami bersama.
Salah satu contoh kodisi tersebut ditunjukkan pada kejadian aliran di sungai
Cidanau dari tahun 1998 – 2000 sebagai berikut :
Gambar 1. Fluktuasi
debit rata-rata bulanan Sungai Cidanau
Mengingat fenomena di
atas, alangkah baiknya jika penanganan kedua persoalan tersebut dapat dilakukan
secara terpadu.
Penanganan banjir
melalui peningkatan retensi banjir dapat dilakukan dengan cara program
penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan maupun perdesaan, pemeliharaan
reservoir-reservoir alamiah dan pembuatan resapan-resapan yang dapat memasukkan
air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. Tanah diharapkan dapat menjadi
tampungan air sementara dan secara perlahan-lahan air dialirkan ke sungai
sehingga tidak menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan
retensi ini adalah terjaganya konservasi air di DAS, muka air tanah dapat
diharapkan stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk berbagai
keperluan terpenuhi.
Contoh penanganan banjir
dan kekeringan secara terpadu dapat diuraikan sebagai berikut.
Daerah Industri Cilegon
Sungai Cidanau terletak
di Daerah Cilegon, Jawa Barat yang bermuara di Selat Sunda. Sungai ini sering
membanjiri daerah Industri Cilegon dan sekitarnya. Disisi lain pada musim
kemarau, daerah pantai tersebut kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk
mengatasi kesulitan air bersih dan mengurangi besarnya debit banjir, PT
Krakatau Tirta Industri membuat waduk Krenceng yang letaknya 27,2 km dari
Sungai Cidanau.
Gambar 2. Sketsa tata
letak waduk Krenceng
U
|
WTP
|
Wd.Kreuceng
|
Air baku untuk kebutuhan
air bersih diambil dari Sungai Cidanau dengan lokasi intake 700
m dari Selat Sunda di Kecamatan Cinangka. Dari intake air
dipompa menuju waduk Krenceng yang merupakan penyimpanan cadangan air baku.
Kapasitas waduk tersebut yaitu 2,5 juta m3. Dari waduk air dialirkan
ke Water Treatment Plant Krenceng dengan kapasitas pengolahan 2000 lt/dt.
Terbangunnya sistem
pengadaan air bersih di daerah Cilegon tersebut dapat mengatasi kesulitan air
bersih dan sekaligus dapat mengurangi besarnya debit banjir, sehingga genangan
yang sering terjadi dapat menurun.
Pengendalian Banjir
Sungai Bengawan Solo Hulu dan Penyediaan Air Irigasi
Pengendalian banjir
Sungai Bengawan Solo Hulu dilakukan dengan pembuatan waduk Wonogiri
yang terletak ± 2 km sebelah selatan kota Wonogiri. Waduk ini mulai beroperasi
pada th 1982. Catchment areanya sebesar 1350 km2 dan kapasitas
tampungan 650 juta m3. Waduk ini direncanakan untuk mengurangi debit
banjir sebesar 4000 m3/detik menjadi 400 m3/detik (Nippon Koei Co., Ltd, 1978).
Daerah banjir yang dapat dibebaskan seluas ± 11.000 ha, dan yang paling utama
adalah pembebasan daerah Surakarta yang padat penduduk.
Selain untuk
pengendalian banjir waduk juga dimanfaatkan untuk irigasi. Daerah Irigasi yang
mendapatkan air dari waduk Wonogiri meliputi wilayah Kabupaten Sukoharjo,
Karanganyar, Sragen dan Klaten dengan luas 23.200 ha. Namun dengan berjalannya
waktu, areal irigasi di Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar banyak yang beralih
fungsi menjadi perumahan atau industri. Oleh karena itu PDAM Surakarta akan
memanfaatkan air Bengawan Solo untuk air baku dalam penyediaan air bersih bagi Kodya
Surakarta.
Pengendalian Banjir
dan Kekeringan
Pengelolaan Banjir dan Kekeringan.
1. Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Banjir dan Kekeringan, meliputi :
a. Pelaksanaan Piket Banjir Tahun 2015, selama 6 bulan yaitu : bulan Januari s.d April dan November s.d Desember Tahun 2015.
b. Koordinasi persiapan, pelaksanaan dan penanganan pasca banjir.
c. Melaksanakan pemantauan kejadian bencana banjir Tahun 2015 sebanyak 27 kejadian.
d. Penanganan darurat akibat banjir di 7 lokasi, terdiri dari :
1) Kabupaten Brebes ada 5 lokasi.
2) Kabupaten Tegal ada 2 lokasi.
1. Pelaksanaan Kegiatan
Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan Banjir dan Kekeringan, meliputi :
a. Pelaksanaan Piket Banjir Tahun 2015, selama 6 bulan yaitu : bulan Januari s.d April dan November s.d Desember Tahun 2015.
b. Koordinasi persiapan, pelaksanaan dan penanganan pasca banjir.
c. Melaksanakan pemantauan kejadian bencana banjir Tahun 2015 sebanyak 27 kejadian.
d. Penanganan darurat akibat banjir di 7 lokasi, terdiri dari :
1) Kabupaten Brebes ada 5 lokasi.
2) Kabupaten Tegal ada 2 lokasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar